TUW5BSClTpA5TSO9GSzpTpz9GA==
Breaking
News

Mengenal Sejarah Sunda Wiwitan dan Warisan Budaya Suku Sunda

Ukuran huruf
Print 0

Sunda Wiwitan ritual ceremony in traditional attire

Sejarah Sunda Wiwitan adalah bagian penting dari warisan budaya Sunda yang kaya akan makna dan nilai-nilai luhur. Ajaran ini merupakan sistem kepercayaan asli masyarakat Sunda yang telah berakar sejak ratusan tahun silam, jauh sebelum agama-agama besar seperti Islam, Hindu, dan Kristen masuk ke wilayah Nusantara. Dalam konteks sejarah, Sunda Wiwitan tidak hanya menjadi landasan spiritual bagi masyarakat Sunda, tetapi juga mencerminkan cara hidup yang harmonis dengan alam dan leluhur.

Sunda Wiwitan memiliki akar historis yang dalam, mengandung ajaran monoteisme purba yang menyembah Tuhan Yang Maha Esa, serta memuja kekuatan alam dan roh leluhur sebagai manifestasi dari Sang Pencipta. Meskipun telah mengalami tantangan besar dengan kedatangan agama-agama besar, ajaran ini terus bertahan dan hidup di tengah masyarakat sebagai landasan budaya dan pemahaman tentang hubungan manusia dengan alam dan leluhur. Dalam perspektif kebudayaan, Sunda Wiwitan tidak hanya dilihat sebagai sistem kepercayaan, tetapi juga sebagai ideologi budaya yang mencerminkan pemahaman manusia tentang harmoni dengan alam semesta.

Pengertian Sunda Wiwitan berasal dari kata "Sunda" yang merujuk pada suku Sunda, dan "Wiwitan" yang artinya awal atau dasar. Secara maknawi, Sunda Wiwitan merujuk pada ajaran yang menjadi dasar dari kehidupan masyarakat Sunda, termasuk nilai-nilai kehidupan, kepercayaan, dan tradisi yang turun-temurun. Dalam konteks sejarah, Sunda Wiwitan tidak hanya menjadi fondasi spiritual, tetapi juga menjadi pedoman moral dan etika yang menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan sesama.

Warisan budaya Sunda Wiwitan sangat kaya akan simbol-simbol, upacara adat, dan ritual yang membentuk identitas masyarakat Sunda. Dari perayaan Seren Taun hingga upacara adat lainnya, setiap tindakan dan praktik memiliki makna mendalam yang menghubungkan manusia dengan alam dan leluhur. Selain itu, Sunda Wiwitan juga mengajarkan pentingnya kesadaran lingkungan dan keberlanjutan, yang menjadi nilai-nilai yang relevan hingga saat ini.

Dengan penjelasan tersebut, artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai sejarah Sunda Wiwitan, nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran ini, serta bagaimana warisan budaya Sunda Wiwitan dapat dipelajari dan dilestarikan untuk masa depan.

Asal Usul dan Perkembangan Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan adalah sistem kepercayaan asli yang berkembang di kalangan suku Sunda, terutama di wilayah Jawa Barat. Meskipun telah mengalami tantangan besar dengan kedatangan agama-agama besar seperti Islam, Hindu, dan Kristen, ajaran ini terus bertahan dan hidup di tengah masyarakat sebagai landasan budaya dan pemahaman tentang hubungan manusia dengan alam dan leluhur. Dalam konsepnya, Sunda Wiwitan mengajarkan monoteisme purba, yang menyembah Tuhan yang Maha Esa, serta memuja kekuatan alam dan roh leluhur sebagai manifestasi dari Sang Pencipta.

Sejarah Sunda Wiwitan bisa ditelusuri dari kehidupan dan pandangan dunia masyarakat Sunda kuno yang sangat menghargai hubungan harmonis antara manusia, alam, dan leluhur. Sunda Wiwitan dianggap sebagai bentuk pemahaman spiritual dan sosial yang ada sebelum masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Buddha, dan Islam ke tanah Sunda. Menurut para ahli budaya, Sunda Wiwitan adalah sistem kepercayaan yang berbasis pada animisme dan dinamisme, di mana kekuatan alam dan roh nenek moyang dihormati dan diyakini memiliki pengaruh terhadap kehidupan sehari-hari.

Dalam perkembangannya, Sunda Wiwitan tidak hanya bertahan dalam komunitas yang terbatas, seperti orang-orang Kanekes di Banten, tetapi juga mempengaruhi cara hidup banyak orang Sunda yang meskipun telah memeluk agama lain, tetap mempertahankan banyak aspek tradisi Sunda dalam kehidupan mereka, seperti dalam penggunaan simbol-simbol budaya dan praktik-praktik adat. Hal ini menunjukkan bahwa Sunda Wiwitan bukan hanya sekadar agama, tetapi juga sebuah ideologi yang lebih dari sekadar kepercayaan, melainkan pandangan hidup yang berakar dalam budaya dan sejarah masyarakat Sunda.

Selain itu, Sunda Wiwitan juga memiliki konsep ketuhanan dan struktur alam yang unik. Dalam ajaran ini, Tuhan Yang Maha Esa dikenal dengan nama Sang Hyang Kersa atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Alam semesta dibagi ke dalam tiga lapisan utama: Buana Nyungcung (alam tertinggi tempat bersemayamnya Sang Hyang Kersa), Buana Panca Tengah (alam tempat tinggal manusia dan makhluk hidup lainnya), dan Buana Larang (alam paling bawah yang disebut sebagai neraka). Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah, terdapat 18 lapisan alam spiritual, termasuk Mandala Hyang dan Alam Kahyangan, tempat tinggal tokoh suci seperti Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.

Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan bukan hanya sekadar sistem kepercayaan, tetapi juga mengandung nilai-nilai luhur yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Sunda. Filosofi Sunda Wiwitan bertumpu pada dua prinsip utama, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa. Cara Ciri Manusia mencakup lima nilai dasar: welas asih (kasih sayang), undak usuk (tatanan keluarga), tata krama, budi bahasa dan budaya, serta wiwaha yudha naradha (sifat bijak dalam bertindak). Sementara itu, Cara Ciri Bangsa menggarisbawahi perbedaan antarmanusia yang terdiri dari unsur rupa, adat, bahasa, aksara, dan budaya.

Nilai-nilai ini tidak tertulis secara eksplisit dalam kitab suci Sunda Wiwitan yang dikenal dengan Sanghyang Siksa Kandang Karesian (Kropak 630), namun dijalankan secara turun temurun dalam praktik kehidupan sehari-hari. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, sosok yang dipercaya sebagai Tuhan Yang Maha Esa dikenal dengan nama Sang Hyang Kersa atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Kepercayaan ini dipahami sebagai jalan hidup dan pedoman moral bagi penganutnya. Meski tergolong aliran kepercayaan, masyarakat adat seperti komunitas Kanekes (Badui) menganggap Sunda Wiwitan sebagai agama mereka, bahkan menyebutnya sebagai "Slam Sunda Wiwitan", yang dalam dialek mereka, “Slam” dimaknai sebagai Islam, meskipun ajarannya tetap berdiri secara independen.

Salah satu tabu utama yang diajarkan dalam ajaran ini sederhana, yakni larangan melakukan hal yang tidak disenangi orang lain, membahayakan orang lain, dan membahayakan diri sendiri. Namun dalam perkembangannya, muncul berbagai larangan tambahan terutama bagi masyarakat Baduy Dalam, sebagai bentuk penghormatan terhadap tempat suci dan tradisi leluhur. Ini menunjukkan bahwa Sunda Wiwitan tidak hanya tentang kepercayaan, tetapi juga tentang kehidupan yang harmonis dengan alam dan sesama.

Upacara dan Tradisi Sunda Wiwitan

Upacara dan tradisi Sunda Wiwitan memiliki makna mendalam yang menghubungkan manusia dengan alam dan leluhur. Salah satu tradisi penting adalah perayaan Seren Taun, yang merupakan bentuk syukur atas hasil panen dan penanda pergantian tahun berdasarkan penanggalan Sunda. Perayaan ini rutin digelar di sejumlah daerah seperti Kanekes (Banten), Cigugur (Kuningan), dan Kampung Naga (Tasikmalaya). Dalam perayaan ini, masyarakat Sunda menyampaikan doa dan syukur melalui pantun, kidung, dan tarian tradisional.

Selain perayaan Seren Taun, Sunda Wiwitan juga memiliki berbagai ritual dan upacara adat lainnya. Tempat-tempat suci dalam ajaran ini dikenal sebagai pamunjungan atau kabuyutan, seperti Situs Genter Bumi, Gunung Padang, Kawali, dan bekas pamunjungan di Pakuan Pajajaran (Bogor). Kabuyutan biasanya berbentuk punden berundak dan dianggap sebagai lokasi keramat tempat penghormatan kepada arwah leluhur. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, masyarakat Sunda juga menjalani ritual-ritual tertentu yang mengandung makna spiritual dan keagamaan.

Selain itu, Sunda Wiwitan juga memiliki konsep kehidupan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dalam ajaran ini, manusia diharapkan untuk menjaga keseimbangan dengan alam dan melestarikan sumber daya alam. Nilai-nilai ini masih terwariskan dalam adat, budaya, dan cara hidup masyarakat Sunda hingga saat ini. Dengan demikian, Sunda Wiwitan tidak hanya menjadi bagian dari sejarah, tetapi juga menjadi pedoman hidup yang relevan dalam era modern.

Pelestarian dan Penghargaan terhadap Sunda Wiwitan

Meskipun telah eksis jauh sebelum masuknya agama-agama besar, penganut Sunda Wiwitan masih menghadapi diskriminasi. Salah satu contohnya terjadi pada 20 Juli 2020, saat area pemakaman penganut Sunda Wiwitan di Kabupaten Kuningan disegel oleh aparat dan warga dengan alasan tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Pemerintah setempat juga menilai bangunan tersebut menyerupai tugu dan dianggap sebagai objek sesembahan, meski dibantah oleh tokoh penganutnya, Juwita Djati Kusuma Putri.

Juwita menegaskan bahwa bangunan tersebut adalah makam leluhur dan bagian dari kepercayaan Sunda Wiwitan yang telah diwariskan secara turun-temurun. Ia menyatakan bahwa Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang lebih dahulu hadir di tanah Sunda sebelum agama lain datang. Dengan demikian, pelestarian ajaran dan tradisi Sunda Wiwitan menjadi tanggung jawab bersama demi menjaga kekayaan spiritual dan kearifan lokal bangsa Indonesia.

Di samping itu, beberapa tokoh dan pemerintah daerah juga berupaya untuk melestarikan Sunda Wiwitan. Misalnya, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memiliki pandangan yang sangat terbuka dan inklusif terkait dengan Sunda Wiwitan. Dedi sering menyebutkan bahwa Sunda Wiwitan bukan hanya tentang agama, tetapi lebih kepada sistem nilai dan budaya yang menjadi akar budaya masyarakat Sunda. Dalam berbagai kesempatan, Dedi Mulyadi menekankan pentingnya merawat warisan budaya lokal, termasuk Sunda Wiwitan, sebagai bagian dari identitas dan kebanggaan masyarakat Sunda.

Relevansi Sunda Wiwitan dalam Masa Kini

Dalam era modern yang semakin kompleks, Sunda Wiwitan tetap memiliki relevansi yang tinggi. Nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran ini, seperti kesadaran lingkungan, gotong royong, dan keharmonisan dengan alam, menjadi penting dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim dan kerusakan ekosistem. Dengan mengadopsi pendekatan yang inklusif dan pemikiran kritis, kita dapat menjaga agar ajaran ini tetap hidup dan memberi kontribusi positif dalam membangun kehidupan yang lebih harmonis, berkelanjutan, dan inklusif bagi semua.

Dalam konteks pembangunan daerah, Dedi Mulyadi menganggap bahwa Sunda Wiwitan dapat menjadi sumber inspirasi bagi pengelolaan pembangunan berkelanjutan yang lebih menghargai alam dan budaya lokal. Ia sering menggandeng komunitas-komunitas adat dan kepercayaan lokal dalam berbagai program pemerintahannya, dengan tujuan untuk menjaga keberagaman budaya serta memperkuat identitas daerah. Dengan demikian, Sunda Wiwitan tidak hanya menjadi bagian dari sejarah, tetapi juga menjadi landasan untuk membangun masyarakat yang lebih baik di masa depan.

Dengan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Sunda Wiwitan adalah warisan budaya yang sangat penting dan layak untuk dilestarikan. Melalui pemahaman yang lebih dalam dan penghargaan yang layak, kita dapat menjaga kekayaan spiritual dan kearifan lokal bangsa Indonesia, serta memastikan bahwa nilai-nilai luhur ini tetap hidup dan relevan dalam kehidupan masyarakat Sunda hingga kini dan masa depan.

Periksa Juga
Next Post

0Komentar

Jasa Penerbitan Buku dan ISBN
Tautan berhasil disalin