Restrukturisasi Organisasi di Perguruan Tinggi: Tantangan atau Ancaman bagi Profesionalisme SDM?

Harry Yulianto

Penulis : Harry Yulianto (Akademisi STIE YPUP Makassar)

Jogja Pekan, Opini - Transformasi digital telah mengubah cara kerja, komunikasi, dan pembelajaran di perguruan tinggi, sehingga menuntut adaptasi struktur organisasi yang lebih fleksibel dan responsif. Menurut Christensen dan Eyring (2011) dalam The Innovative University: Changing the DNA of Higher Education from the Inside Out, perguruan tinggi perlu menyesuaikan strukturnya untuk tetap relevan di tengah tantangan teknologi yang terus berkembang. Perubahan tersebut dapat mencakup pengintegrasian teknologi digital dalam proses pembelajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta administrasi untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing institusi.

Disrupsi teknologi telah mengubah ekspektasi terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) di perguruan tinggi. Profesionalisme SDM tidak lagi hanya diukur dari kepakaran atau keilmuan akademik, tetapi juga dari kemampuan untuk mengelola teknologi, berinovasi, memiliki kompetensi, serta berkolaborasi lintas disiplin keilmuan. Restrukturisasi organisasi memungkinkan institusi menciptakan ekosistem kerja yang mendukung pengembangan kompetensi digital serta kepemimpinan adaptif. Teori Resource-Based View yang dikemukakan oleh Barney (1991) dalam Firm Resources and Sustained Competitive Advantage, menegaskan bahwa keunggulan kompetitif organisasi sangat tergantung pada pemanfaatan sumber daya internal yang unik, termasuk SDM yang profesional dan adaptif terhadap perubahan.

Beberapa perguruan tinggi yang gagal melakukan restrukturisasi organisasi di era disrupsi teknologi telah menunjukkan dampak nyata berupa penurunan reputasi dan daya saing, dimana institusi yang tetap mempertahankan metode pembelajaran konvensional tanpa mengadopsi teknologi digital akan mengalami kesulitan untuk menarik mahasiswa baru. Menurut laporan oleh OECD (2019) dalam Trends Shaping Education, perguruan tinggi yang gagal beradaptasi dengan perubahan teknologi sering kali kehilangan daya tarik di kalangan generasi muda yang lebih memilih institusi dengan pendekatan modern. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketidakmampuan beradaptasi akan dapat mempercepat ketertinggalan pada institusi pendidikan.

Tantangan Restrukturisasi

Restrukturisasi organisasi menghadirkan tantangan yang tidak dapat diabaikan. Perguruan tinggi sering kali menghadapi resistensi perubahan dari staf akademik maupun administratif yang sudah terbiasa dengan sistem lama. Menurut Kotter (1996) dalam Leading Change, salah satu hambatan utama dalam transformasi organisasi yakni ketidakmampuan untuk menciptakan urgensi dan visi yang jelas terkait manfaat perubahan, sehingga restrukturisasi harus didukung dengan komunikasi yang transparan, pelatihan, serta keterlibatan aktif semua pihak untuk mengurangi resistensi.

Salah satu permasalahan yang sering menjadi sorotan yakni perguruan tinggi yang tidak memperbarui sistem administrasi dan pembelajarannya, karena masih mengandalkan proses manual untuk pendaftaran, evaluasi, dan pengelolaan data akademik, sehingga tidak hanya memperlambat operasional, tetapi juga meningkatkan risiko kesalahan. Menurut pandangan Drucker (1993) dalam Post-Capitalist Society, organisasi yang tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi akan mengalami stagnasi, kehilangan relevansi, dan pada akhirnya akan ditinggalkan oleh pengguna jasa mereka.

Sebagai perbandingan, perguruan tinggi yang melakukan restrukturisasi seperti pengadopsian Learning Management System (LMS) dan digitalisasi layanan akademik menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam efisiensi dan kualitas pendidikan. Perguruan tinggi yang tidak mampu mengikuti tren akan menghadapi ancaman kehilangan mitra, pendanaan riset dan pengabdian kepada masyarakat, maupun kepercayaan dari masyarakat. Studi yang dilakukan oleh Aithal dan Aithal (2016) dalam Impact of On-line Education on Higher Education System, menegaskan pentingnya inovasi strategis untuk mencegah agar institusi pendidikan tidak tertinggal di era kompetisi global.

Tantangan lain yang signifikan yakni kesenjangan teknologi di antara pegawai dan mahasiswa. Menurut Rogers (2003) dalam Diffusion of Innovations, adopsi teknologi sering kali terhambat oleh perbedaan tingkat interpretasi dan akses terhadap teknologi. Perguruan tinggi perlu mengatasi tantangan tersebut dengan investasi pada infrastruktur teknologi serta program pelatihan yang inklusif. Restrukturisasi juga harus memperhatikan keseimbangan antara modernisasi dan pelestarian nilai-nilai tradisional pendidikan tinggi yang telah menjadi identitas institusi.

Restrukturisasi organisasi di perguruan tinggi perlu mempertimbangkan tantangan lokal seperti birokrasi yang kompleks dan keterbatasan infrastruktur teknologi. Namun, jika dilakukan dengan perencanaan yang matang, maka restrukturisasi dapat menjadi peluang untuk meningkatkan efisiensi operasional dan daya saing global. Dengan mengadopsi pendekatan berbasis data dan teknologi, maka perguruan tinggi tidak hanya dapat meningkatkan profesionalisme SDM, tetapi juga menciptakan nilai tambah bagi mahasiswa, dosen, dan masyarakat secara umum.

Perguruan tinggi harus menyadari bahwa stagnasi bukanlah pilihan di era disrupsi teknologi. Restrukturisasi organisasi yang terencana dan berbasis teknologi tidak hanya meningkatkan profesionalisme SDM, tetapi juga memperkuat keberlanjutan institusi di tengah perubahan yang cepat. Perguruan tinggi yang gagal melakukan hal ini akan berisiko menjadi usang dan kehilangan perannya sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ancaman Restrukturisasi

Perguruan tinggi yang tidak melakukan restrukturisasi organisasi di era disrupsi teknologi akan menghadapi berbagai ancaman serius yang dapat menghambat kelangsungan dan daya saingnya. Salah satu ancaman utama yakni kehilangan relevansi di mata mahasiswa dan masyarakat. Dengan munculnya platform pembelajaran daring dan layanan pendidikan berbasis teknologi, institusi yang tetap mempertahankan metode tradisional menjadi kurang menarik bagi generasi muda yang terbiasa dengan teknologi. Menurut laporan OECD (2019), institusi yang tidak berinovasi cenderung mengalami penurunan jumlah pendaftar dan kesulitan bersaing dengan perguruan tinggi yang lebih adaptif.

Perguruan tinggi yang gagal beradaptasi juga akan menghadapi risiko ditinggalkan oleh mahasiswa potensial. Generasi muda saat ini mengharapkan pengalaman belajar yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja, termasuk integrasi teknologi dan kurikulum yang adaptif. Institusi yang tidak dapat memenuhi ekspektasi tersebut akan sulit menarik perhatian calon mahasiswa. Pada konteks globalisasi, persaingan antar perguruan tinggi semakin ketat, sehingga kemampuan untuk beradaptasi menjadi faktor penentu keberhasilan.

Ketertinggalan dalam adopsi teknologi juga dapat menghambat efektivitas operasional perguruan tinggi. Institusi yang masih mengandalkan proses manual, baik dalam administrasi maupun pembelajaran, sering kali menghadapi keterbatasan dalam mengelola data, komunikasi, dan evaluasi. Drucker (1993) dalam Post-Capitalist Society, menekankan bahwa organisasi yang gagal mengikuti perkembangan teknologi akan mengalami stagnasi dan kehilangan produktivitas. Hal tersebut dapat memengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap institusi, sehingga berdampak pada reputasi dan keberlanjutan finansial. Tanpa restrukturisasi yang tepat, perguruan tinggi berisiko kehilangan peluang pendanaan yang sangat penting untuk operasional dan pengembangan institusi.

Kegagalan melakukan restrukturisasi dapat menghambat kemampuan perguruan tinggi dalam menarik dan mempertahankan tenaga kerja profesional. SDM yang berkualitas akan cenderung mencari lingkungan kerja yang inovatif dan mendukung pengembangan karier. Perguruan tinggi yang tidak mampu menyediakan ekosistem tersebut akan berisiko kehilangan talenta terbaiknya, sehingga akan memperburuk kualitas pendidikan maupun penelitian. Menurut teori Human Capital yang dikemukakan oleh Becker (1993) dalam Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis with Special Reference to Education, investasi dalam pengembangan SDM menjadi kunci untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing organisasi, termasuk perguruan tinggi. Restrukturisasi yang tepat dapat menjadi solusi untuk mengatasi acaman serta membuka peluang baru untuk meningkatkan profesionalisme SDM dan keberlanjutan institusi di era disrupsi teknologi.

Langkah Strategis

Restrukturisasi organisasi di perguruan tinggi menjadi salah satu langkah strategis yang semakin relevan di era disrupsi teknologi. Langkah strategis pertama yang dapat diambil perguruan tinggi untuk mengatasi fase ketertinggalan yakni melakukan evaluasi menyeluruh terhadap struktur organisasi yang ada. Proses ini mencakup identifikasi area yang tidak efisien, seperti birokrasi yang berbelit-belit atau kurangnya kolaborasi antar-bagian. Menurut Kotter (1996) dalam Leading Change, keberhasilan restrukturisasi sangat bergantung pada kemampuan institusi untuk menciptakan visi yang jelas dan urgensi untuk perubahan.

Kedua, perguruan tinggi perlu mengadopsi teknologi digital secara holistik. Penggunaan LMS, sistem administrasi berbasis cloud, dan platform kolaborasi digital dapat meningkatkan efisiensi operasional dan pengalaman belajar mahasiswa. Menurut Rogers (2003) dalam Diffusion of Innovations, keberhasilan adopsi teknologi sangat ditentukan oleh tingkat kompatibilitasnya dengan kebutuhan pengguna dan ketersediaan dukungan teknis.

Ketiga, restrukturisasi harus mencakup investasi dalam pengembangan kompetensi SDM. Program pelatihan yang berfokus pada literasi digital, kepemimpinan adaptif, dan kemampuan kolaborasi lintas disiplin sangat penting untuk memastikan staf dan dosen mampu menghadapi tantangan baru. Teori Human Capital yang dikemukakan oleh Becker (1993) menegaskan bahwa investasi dalam pengembangan kompetensi individu akan menghasilkan dampak positif bagi organisasi secara keseluruhan.

Keempat, perguruan tinggi perlu memperkuat kemitraan strategis dengan berbagai pihak, termasuk industri, pemerintah, dan komunitas internasional. Kemitraan tersebut tidak hanya memperluas peluang pendanaan, tetapi juga membantu institusi untuk tetap relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Aithal dan Aithal (2016) dalam Impact of On-line Education on Higher Education System, menyoroti bahwa kolaborasi lintas sektor dapat menjadi katalis untuk inovasi dan peningkatan daya saing institusi pendidikan.

Kelima, menciptakan budaya organisasi yang mendukung perubahan. Menurut Schein (2010) dalam Organizational Culture and Leadership, budaya yang terbuka terhadap inovasi dan pembelajaran berkelanjutan akan membantu perguruan tinggi untuk lebih mudah beradaptasi dengan perubahan. Hal tersebut dapat dimulai dengan membuka ruang komunikasi yang transparan, memberikan ruang untuk berinovasi, serta memberikan reward bagi yang berhasil mencapai output kinerja.

Perguruan tinggi perlu melihat bahwa restrukturisasi bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang untuk menciptakan institusi yang lebih adaptif, inovatif, dan tetap relevan di era post-modern. Seperti yang dikatakan oleh Peter Drucker, "The greatest danger in times of turbulence is not the turbulence, it is to act with yesterday's logic." Dengan langkah strategis yang tepat, perguruan tinggi dapat menjadikan restrukturisasi sebagai stimulan pendorong keberlanjutan maupun profesionalisme SDM.

0 Komentar

Jasa Penerbitan Buku dan ISBN